BEST IS YOUR SELF
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) baru saja menyatakan bahwa tahun 2012 adalah ”the safest year in the history of aviation”. Hal tersebut dikemukakan mengacu pada tingkat terendah kecelakaan yang terjadi pada 2012.
Sekadar
perbandingan, pada 2012 hanya terjadi satu kecelakaan dari 5 juta
keberangkatan. Pada 2011, terjadi satu kecelakaan dari setiap 2,7 juta
keberangkatan. Hal itu berarti meningkat hampir dua kali lipat. Kenaikan
tingkat keamanan terbang dinikmati oleh masyarakat penerbangan
internasional seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi aviasi.
Namun,
kemajuan teknologi yang pesat tidak pernah memberikan jaminan keamanan
seperti yang diharapkan. Banyak faktor yang memengaruhi keamanan
terbang, betapa pun tingginya tingkat keamanan yang sudah dicapai.
Bergerak di bidang yang teknologis sifatnya, dituntut kepatuhan yang
tinggi terhadap semua regulasi dan ketentuan yang mengiringinya.
Sedikit
saja kompromi diberikan terhadap aturan dan regulasi, dipastikan akan
merupakan tindakan yang membuka peluang terjadinya kecelakaan. Berangkat
dari pemahaman tersebut, penyelidikan terhadap penyebab terjadinya
kecelakaan selalu berorientasi pada regulasi atau ketentuan mana yang
telah diabaikan. Kenyataannya, dalam dunia penerbangan, data pelanggaran
atau kompromi terhadap aturan biasanya kerap menjadi petunjuk awal
penyebab terjadinya sebuah kecelakaan.
Sabtu, 8 Maret 2014,
sebuah pesawat Boeing 777-200 milik maskapai penerbangan Malaysia
Airlines System (MAS), nomor penerbangan MH370, hilang dalam rute Kuala
Lumpur ke Beijing, China. Lenyapnya MH370 yang tiba-tiba ini, dalam arti
tidak sempat mengirimkan pesan tanda darurat atau emergency signal,
memunculkan banyak spekulasi terhadap apa yang telah terjadi. Masa
lebih dari 2 x 24 jam tanpa petunjuk apa pun menambah lagi dugaan
tentang apa yang sebenarnya dialami oleh MH370 tersebut.
Lenyapnya
sebuah pesawat tanpa sempat mengirimkan pesan keadaan darurat
dipastikan bahwa sesuatu yang sangat mendadak telah terjadi. Apabila
tidak mendadak, pilot pasti akan mengirimkan pesan keadaan darurat
seperti yang ditentukan dalam prosedur standar penerbangan. Ini mengacu
pada Civil Aviation Safety Regulation dari Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional (ICAO). Walau tidak selalu ”bom” dari tersangka teroris
yang menyebabkannya, ledakan yang merusak adalah salah satu penyebab
hilangnya pesawat secara tiba-tiba tanpa sempat memberikan waktu bagi
pilot mengirimkan pesan melalui radio atau peralatan komunikasi lainnya.
Untuk
hal ini, adanya temuan awal bahwa ada dua penumpang MH370 yang
menggunakan paspor palsu tentu harus diselidiki dengan cermat. Agak
sulit diterima akal sehat kenapa mereka harus menggunakan paspor palsu.
Terlebih lagi, ada temuan lain, empat orang membatalkan ikut penerbangan
itu.
Walau terlalu dini untuk mengatakan bahwa bom dan teroris
yang menyebabkan pesawat MH370 lenyap, penelitian lanjutan seyogianya
harus dilakukan. Minimal, kelengahan di jajaran imigrasi akan memberikan
”pelajaran” mahal dalam urutan pelaksanaan prosedur pemberangkatan
penumpang pesawat udara.
Maskapai penerbangan Malaysia memiliki
catatan cukup baik dalam konteks keamanan terbang. Di sisi lain, Boeing
777-200 adalah pesawat yang masuk dalam kategori the safest wide body aircraft. Pesawat angkut besar pertama dari Boeing yang menggunakan sistem fly by wire yang melengkapi dirinya dengan banyak penyempurnaan, termasuk dalam safety devices
atau peralatan penunjang keamanan terbang pesawat. Pilot yang mengawaki
adalah seorang pilot senior yang sangat berpengalaman terbang di
Malaysia Airlines.
Pertanyaan yang ramai muncul, mengapa pesawat
berteknologi tinggi dan sangat modern bisa lenyap dalam penerbangannya.
Mengapa pesawat canggih bisa (kemungkinan besar) mengalami kecelakaan?
Untuk
memahami tentang pesawat modern dan canggih, patut juga melihat hasil
penyelidikan National Safety Board Perancis dan Belanda dalam kejadian
kecelakaan pesawat AF-447 Rio de Janeiro ke Paris pada 2009 dan pesawat
Turkish Air yang undershoot mendarat beberapa kilometer sebelum landas pacu Bandara Schiphol, Belanda.
Pada
kedua hasil penyelidikan tersebut, ada catatan menarik yang hampir sama
tentang kemampuan pilot dalam menghadapi situasi keadaan darurat. Pilot
diragukan kemampuan menerbangkan pesawat secara manual dalam situasi
darurat. Pilot terlambat menyadari terjadinya kekeliruan dalam sekuel
penerbangannya.
Ada satu istilah yang sangat menarik, yaitu disebutkannya satu terminologi: automation addiction.
Suatu kebiasaan yang fatal dari pilot yang selalu menggunakan autopilot
sepanjang rute perjalanan penerbangannya. Ketergantungan yang sangat
tinggi terhadap peralatan yang otomatis dicurigai sebagai penyebab
turunnya keterampilan pilot menerbangkan pesawat terbang secara manual.
Pada
penerbangan AF-447, sebuah Airbus A-330 yang canggih mengalami gangguan
pada sensor penunjuk kecepatan pesawat yang kemudian berakibat gagalnya
sistem autopilot bekerja dengan normal. Hal ini berakibat fatal karena
membawa pesawat masuk ke dalam awan aktif yang menyebabkan turbulensi
sangat parah. Pesawat bergerak dengan hidung yang mendongak ekstrem ke
atas dan menyebabkan stall atau terjatuh. Stall sebenarnya adalah manuver berbahaya yang menjadi salah satu latihan wajib bagi pilot untuk dapat mengatasinya.
Cara mengatasi kemungkinan terjadi dan mengatasi stall,
jika telanjur terjadi, harus menjadi kemampuan dasar seorang pilot
sebelum diizinkan terbang. Pada penerbangan AF-447, pilot gagal
mengatasi stall dan akhirnya pesawat masuk ke dalam unusual attitude tak terkendali dan secara spiral-dive menghunjam ke laut.
Semua
itu dapat diketahui dari rekaman gerak pesawat dan pembicaraan pilot
yang berasal dari penelitian ”kotak hitam”. AF-447 masuk laut pada 2009
dan ”kotak hitam”-nya berhasil diangkat pada tahun 2010. Penyelidikan
memakan waktu lebih kurang satu tahun. Pilot terlambat menyadari bahwa
autopilot tidak bekerja dengan benar sehingga membawa pesawat masuk ke
dalam area kumulonimbus yang berbahaya.
Di Belanda, Turkish Air
mendarat beberapa kilometer sebelum landas pacu Schiphol. Ternyata
kejadiannya hampir serupa dengan AF-447. Pilot terlambat mengetahui
bahwa pesawatnya (yang tengah terbang di bawah kendali otomatis) berada
dalam lintasan terbang untuk mendarat di landasan yang jauh dari jalur
lintasan normal. Dalam usaha menerbangkan pesawat untuk kembali ke
lintasan pendaratan yang normal, sang pilot telah mengangkat terlalu
tinggi hidung pesawat. Tingginya hidung pesawat dan kondisi penggunaan power mesin yang tidak seimbang menyebabkan pesawat tidak sanggup naik dan bahkan yang terjadi adalah stall. Pesawat menghantam tanah, jauh sebelum ujung landasan dari Bandara Schiphol.
Pilot
AF-447 dan Turkish Air adalah pilot senior dengan ribuan jam terbang.
Namun, hasil penyelidikan yang sebagian besar berasal dari data
penerbangan dan data pembicaraan di kokpit menjelaskan, mereka tidak
cukup mahir mengendalikan pesawat dalam keadaan darurat. Keterlambatan
menyadari telah terjadi penyimpangan dalam operasi penerbangan yang
normal, dan gagalnya mengendalikan pesawat ke posisi normal, menjadi
penyebab dominan dalam kecelakaan yang fatal tersebut.
Semua itu dianggap sebagai akibat dari pilot automation addiction,
ketergantungan sangat tinggi terhadap sistem otomatis penerbangan yang
canggih. Seorang pilot senior mengatakan, sejak tahun 2010, era pilot
yang memiliki keterampilan menerbangkan pesawat sudah usai. Mereka yang
saat belajar terbang belum mengalami kemajuan teknologi, semua beranjak
pensiun. Kini, pilot generasi baru, mereka yang sejak awal belajar
terbang terbiasa menggunakan peralatan serba otomatis, secara tidak
sadar tidak lagi memiliki keterampilan yang cukup untuk menerbangkan
pesawatnya, terutama dalam menghadapi situasi darurat.
Sekadar
contoh, seorang pilot yang mengantongi 10.000 jam terbang, apabila
ditelusuri lebih mendalam, ternyata tidak akan sebanyak itu jam terbang
yang dimilikinya sebagai skill seorang pilot. Dalam penerbangan
9-10 jam, pilot sebenarnya menerbangkan pesawat selama 5-7 menit saat
lepas landas dan 8-10 menit menjelang mendarat. Jumlah sisa dari 10.000
jam terbang yang dicatatnya kenyataannya hanyalah jam terbang ”sang
autopilot”!
Automation addiction telah memunculkan
masalah baru yang cukup serius. Meski ini masih menjadi perdebatan
antara para pilot senior dan para instruktur pilot, kiranya masalah ini
memang patut menjadi pokok bahasan dalam penyempurnaan upaya peningkatan
keamanan terbang.
Apakah MH370 mengalami pembajakan udara oleh
teroris yang menggunakan paspor palsu, itu harus dibuktikan lebih
lanjut, atau apakah terjadi unusual attitude, keadaan tiba-tiba
yang menyebabkan pesawat bermanuver tidak biasa dan kemudian tidak
mampu diatasi pilot, juga masih menunggu penyelidikan lanjutan.
Saya
teringat seorang pilot senior berkebangsaan Amerika dari pabrik
Lockheed dan berpengalaman banyak sebagai investigator serta pernah
bekerja di Badan Penerbangan Federal AS (FAA). Dia mengutarakan pendapat
yang cukup menarik. ”Dalam satu kecelakaan pesawat terbang yang fatal,
pesawat terbang rusak berat, total loss dan tidak ada orang di
dalamnya yang selamat, maka kita tidak akan pernah tahu dengan persis,
apa sebenarnya yang telah terjadi,” katanya.
SUMBER: KOMPAS.com
No comments:
Post a Comment